Pentingnya Melestarikan Budaya Sopan Santun di Era Globalisasi

Sumpah Pemuda, yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928, adalah tonggak bersejarah yang menyatukan pemuda-pemudi Indonesia dari berbagai suku, bahasa, dan budaya untuk berkomitmen pada satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Peristiwa ini menjadi titik awal dari kesadaran bersama yang kuat untuk membangun persatuan nasional. Berkat Sumpah Pemuda, kita memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu di antara lebih dari 700 bahasa daerah di seluruh Nusantara. Bayangkan, jika Sumpah Pemuda tidak terjadi, mungkin kita akan kesulitan untuk berkomunikasi dan memahami satu sama lain di negara yang kaya akan keragaman ini. 

Pemuda di era kemerdekaan adalah tombak utama perjuangan bangsa. Mereka rela berkorban, memiliki rasa hormat yang tinggi kepada para pemimpin, serta menjaga dan melestarikan budaya bangsa. Namun, apakah pemuda Indonesia masa kini masih menjaga nilai-nilai luhur itu? Ironisnya, banyak generasi muda saat ini justru lebih terpengaruh oleh budaya asing, seperti budaya Korea, dari gaya berpakaian hingga cara berbicara. Hal ini menunjukkan pergeseran budaya yang patut dipertanyakan, terutama karena hal tersebut sering kali mengikis keunikan dan keaslian budaya lokal kita.
 
Di era digital ini, kita juga dihadapkan pada tantangan baru berupa arus informasi yang tidak selalu valid dan memengaruhi perilaku masyarakat. Media sosial, misalnya, sering menjadi arena untuk membagikan segala informasi tanpa adanya verifikasi yang memadai, bahkan hingga ke ranah kehidupan pribadi. Sering kita lihat video atau foto yang diunggah tanpa seizin orang yang bersangkutan. Budaya sopan santun yang dahulu menjadi ciri khas masyarakat kita, seperti menghormati privasi orang lain dan tidak menyebarkan keburukan tetangga, kini tampaknya mulai terkikis. Ketika unggahan negatif tentang orang lain tersebar luas di media sosial, tanpa kita sadari kita turut memperburuk budaya ini.

Contoh lain pergeseran budaya sopan santun yang sangat miris adalah dalam hubungan antara guru dan murid. Dulu, guru dihormati sebagai orang tua kedua di sekolah. Namun, saat ini ada banyak kasus di mana orang tua justru melaporkan guru karena menegur anak mereka, atau bahkan lebih parah lagi, murid mengajak guru berkelahi hanya karena permasalahan kecil. Contoh nyata kasus ini adalah insiden beberapa tahun lalu, di mana seorang siswa SMA di Sulawesi Selatan memukul gurunya hanya karena tidak terima ditegur. Kasus lain terjadi di Jawa Tengah, di mana seorang orang tua melaporkan guru ke polisi karena sang guru memberikan hukuman disiplin pada anaknya yang melanggar aturan.
 
Fenomena-fenomena ini menunjukkan pergeseran nilai di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, dalam menghargai budaya sopan santun. Sebagai bangsa yang dikenal akan keramahannya, kita seharusnya tetap menjaga nilai-nilai ini sebagai salah satu identitas nasional. Bukan berarti kita tidak boleh terbuka terhadap budaya luar atau teknologi. Namun, kita harus bisa menyaring nilai-nilai yang sesuai dengan jati diri bangsa dan tetap menghormati kearifan lokal.
 
Sumpah Pemuda tidak hanya tentang satu bahasa, tetapi juga tentang persatuan dan penghormatan terhadap sesama. Generasi muda masa kini perlu diingatkan untuk memahami kembali makna dari peristiwa ini, agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berbudaya, ramah, dan sopan santun. Mari jadikan nilai-nilai luhur ini tetap hidup dalam diri kita sebagai bangsa Indonesia.